Janda Itu Kesusahan Buka, Kubantu Sampai Basah Sebadan

25 April 2021 21:35

GenPI.co - Hari minggu itu memang waktu yang cocok untuk malas-malasan. Oleh karena itu, aku pun memutuskan untuk tidur-tiduran di kasur kapuk yang digelar di ruang TV.

Aku menyalakan kipas angin dan kusorot anginnya ke arahku. Aku pun menonton film yang ditayangkan kanal TV tiap hari minggu.

BACA JUGA: Janda Muda Itu Berhasil Buat Mataku Merem Melek, Duh, Nikmatnya

Jam dinding menunjukkan pukul 11 pagi. Rasa kantuk pun mulai menyerangku.

Namun, saat aku mulai terlelap, suara Mama membangunkanku.

“Rits, Harits. Bangun. Anterin pesanan kue ke Mbak Pipit, dong,” kata Mama sambil menggoyang-goyangkan badanku.

Mamaku memang berjualan kue kering. Pabrik kecil kue kering kami bahkan sudah biasa menerima pesanan dalam jumlah banyak tiap menjelang Ramadhan dan Lebaran.

Aku biasanya memang suka dapat mandat dari Mama untuk mengantar kue kering ke pelanggan yang kebetulan rumahnya dekat dengan rumahku.

Masalahnya, Mbak Pipit adalah janda muda yang baru cerai dengan suaminya beberapa bulan yang lalu

Parasnya terkenal cantik dan badannya pun bagus. Semua orang di kompleks perumahan kami sering membicarakan tentang Mbak Pipit.

BACA JUGA: Bertahun-Tahun Aku Habiskan Waktu Tidur Bersama Janda Idamanku

Saat ronda malam pun bapak-bapak kompleks tak pernah absen membicarakan Mbak Pipit. Aku tahu hal ini karena Papa suka membawa kabar terbaru perihal Mbak Pipit usai pulang ronda.

“Buruan atuh. Keburu siang, makin panas, loh,” kata Mama.

“Iya, Ma, iya bentar ini lagi ngumpulin nyawa,” jawabku.

“Ya sudah, buruan ke depan ya. Kuenya sudah Mama plastikin di depan,” ujar Mama sambil berjalan ke arah depan rumah.

Aku pun duduk dan mengucek mataku untuk mengembalikan kesadaran. Setelah sadar, aku mengambil jaket dan kunci motor, lalu berjalan ke garasi rumah.

Saat sedang memanaskan motor, Mama memberikan bungkusan beberapa toples kue pesanan Mbak Pipit.

“Nih, hati-hati, ya, jangan sampai tumpah. Pas jalan tinggal saja pagarnya, biar Mama yang tutup,” kata Mama.

“Iya, Ma. Aku jalan dulu, ya,” kataku.

Rumah Mbak Pipit beda 4 blok dari rumahku. Dia di Blok E, sementara aku di Blok I. Rumahnya dicat biru tua dan pagarnya berwarna hitam.

“Assalamualaikum, Mbak Pipit. Mau antar kue,” teriakku dari pagar rumah Mbak Pipit.

Tak berapa lama kemudian, Mbak Pipit keluar dari dalam rumah.

“Waalaikumsalam. Sini masuk, Rits,” kata Mbak Pipit sambil melambaikan tangannya mengisyaratkan untuk masuk.

Aku pun masuk ke rumahnya dengan perlahan.

“Ini kuenya aku taruh di mana, Mbak Pit?” tanyaku.

“Oiya, taruh saja di atas meja makan. Aku ambil uang dulu, ya bentar,” ujarnya sembari naik ke lantai dua.

Aku pun duduk di kursi makan sambil menunggu Mbak Pipit turun dari lantai atas. Tak lama setelahnya, Mbak Pipit kembali menuruni tangga.

Dia pun menyerahkan sejumlah uang sesuai dengan jumlah pesanan kuenya. Setelahnya, dia pun mengambil salah satu toples.

“Aku kayaknya mau masukin ini langsung ke toples di ruang tamu, deh,” katanya sambil mencoba membuka selotip yang melingkari tutup toples.

Namun, Mbak Pipit kesulitan membuka selotip itu. Aku pun kasihan melihat Mbak Pipit kesulitan membuka selotip toples kue.

“Sini, Mbak Pipit, kubantu,” ujarku sambil mengambil toples itu dari tangannya.

Ternyata, selotipnya memang sulit untuk dibuka. Aku pun langsung menatap Mbak Pipit sambil tersipu.

“Mbak Pit, susah juga ini. Nggak ada gunting?” tanyaku.

Dia pun langsung ke dapur untuk mengambil sebuah gunting. Untungnya, dengan bantuan gunting aku bisa membuka toples itu dengan cukup mudah.

“Aduh, buka toples kue saja sampai keringatan, ya. Bajuku sampai basah haha,” kata Mbak Pipit sambil menarik-narik bajunya.

Aduhh, Rits tahan, Rits, batinku dalam hati sambil memperhatikan Mbak Pipit menarik-narik bajunya yang basah itu.
 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co