Ronggeng Dukuh Paruk: Tradisi dan Tragedi 65 di Sebuah Desa Kecil

16 Desember 2020 17:50

GenPI.co - Dukuh Paruk seperti terlahir kembali. Hingar bingar desa itu kembali terasa setelah kurang lebih dua belas tahun seperti mati suri.

Semangat kembali muncul tatkala penduduk dukuh itu menobatkan Srintil sebagai ronggeng baru.

BACA JUGANovel Gone Girl: Sadis, Romantis, dan Penuh Teka Teki

Soal menelisik dukuh atau pedesaan, Ahmad Tohari memang tak pernah keliru, dia Jagonya. Begitu pula saat dia menceritakannya di buku Ronggeng Dukuh Paruk.

Novel ini merupakan penyatuan dari trilogi pertama yang diterbitkan beberapa puluh tahun lalu. 

Tidak hanya penyatuan, tetapi juga memunculkan kembali naskah-naskah yang hilang karena sensor di era Orde Baru.

Bagi warga Dukuh Paruk, ronggeng bukan hanya sebuah tarian, melainkan sebuah jati diri warga setempat. Ia adalah perlambang yang sarat akan arti yang mendalam.

Oleh karena itu, kehadiran Srintil disambut meriah oleh dukuh tersebut. Kecantikannya telah menggoda seluruh isi dukuh, tak terkecuali para pejabat-pejabat desa hingga kabupaten.

Laki-laki yang biasa perkasa di setiap lini kehidupan, tiba-tiba berubah dan seolah takluk di hadapan Srintil si Ronggeng anyar desa itu.

Buku Ronggeng Dukuh Paruk berlatar belakang 1965. 

Srintil sudah menjadi ronggeng sejak usianya masih remaja. Bertahun-tahun dia menikmati pekerjaannya, dari panggung ke panggung menghibur masyarakat yang ada di sekitar dukuh tersebut.

Hingga kemudian, petaka 1965 terjadi. Gejolak politik di pusat kota akhirnya dengan cepat merambah ke desa-desa, termasuk Dukuh Paruk.

Teriakkan komunis atau PKI menggema dan membuat penduduk ketakutan. Srintil kehilangan panggung penghidupannya.

Beberapa penduduk desa dituduh menjadi simpatisan dan ditangkap.

Di saat yang sama, dia kehilangan kekasihnya, Rasus.  Kekasihnya memilih menjadi prajurit berseragam hijau dan turut memburu orang-orang yang dicap komunis di dukuh tersebut.

Srintil lalu melupakan Rasus dan mulai menerima dambaan hatinya yang baru. 

Seorang pekerja proyek pembangunan di dukuhnya, telah menarik perhatian mata cantik Sang Ronggeng.

Naas, nasib sial belum berhenti, pekerja proyek itu justru menjual Srintil ke bosnya.

Kesenian dan petaka 1965 menjadi jalan cerita di buku ini. Bagaimana kebodohan dan kemelaratan di Dukuh Paruk telah menjebak warga di wilayahnya sendiri.

Kisah ronggeng juga membuka sudut baru tentang hiburan panggung yang dilakukan wanita. 

Dia dipuji, dikagumi, dan digoda oleh para lelaki. Di saat yang sama kita tahu, panggung hanya sebuah sandiwara.

Ahmad Tohari seperti sedang menyindir halus, laki-laki tidak begitu kuat, dia lemah dan bisa pula dipermainkan. Terutama ketika berhadapan dengan ronggeng.

Bagi perempuan-perempuan kampung, hanya dalam tontonan ronggenglah mereka bisa menyaksikan kaum laki-laki dipermainkan oleh lawan jenisnya. Bukan sebaliknya, seperti yang mereka alami sehari-hari.

Buku ini tentu layak dibaca terutama bagi yang menyukai dunia kesenian dan bagaimana dia berhadap-hadapan dengan peristiwa 65. 

BACA JUGANovel 9 Matahari: Mimpi Terwujud Bagi Mereka yang Tak Menyerah

Terlebih saking bagusnya, buku ini juga pernah difilmkan beberapa tahun lalu menjadi Sang Penari. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Irwina Istiqomah Reporter: Chelsea Venda

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co