Polemik Keberadaan Burung Kuntul, Antara Polusi dan Potensi

05 Maret 2019 21:02

Beberapa tahun belakangan, keberadaan burung kuntul di Kota Batusangkar menjadi polemik. Banyaknya populasi burung menyebabkan terganggunya masyarakat dengan kotoran dan bau. Di sisi lain, burung kuntul tidak boleh diganggu karena berada dalam kawasan Cagar Alam Baringin Sakti. 

Burung Kuntul juga menyimpan potensi besar yang bisa menjadi keunggulan Tanah Datar. Untuk mengatasi hal ini, keberadaan Burung Kuntul menjadi pembahasan Diskusi Pagi di Pasar Van Der Capellen, Minggu (3/3) kemarin. Dipandu oleh Direktur Walhi Sumbar Uslaini, diskusi menghadirkan pembicara akademisi Universitas Andalas, Wilson Novarino, Camat Lima Kaum Afrizal, Kepala Perwakilan Kabarsumbar.com, Aldoris, dan Direktur PBHI Sumbar Wengki Purwanto.

Camat Lima Kaum yang akrab dipanggil Ayah memaparkan, aroma kotoran burung bangau menganggu kenyamanan dari aroma dan kotoran yang jatuh. Dikhawatirkan akan membawa virus flu burung karena tidak bisa dikontrol jumlah populasi dan keberadaannya. Kotoran burung bangau mengotori lingkungan dan mobil yg parkir dibawah pohon.

“Jadi malu kita sama pengunjung kota yang tidak tahu di atas beringin ada burung bangau,” ujar pria murah senyum ini.

Di sisi lain, menurutnya masyarakat seputaran Batusangkar khususnya di Kecamatan Sungai Tarab dan Sungayang tidak bisa lagi melakukan minapadi dengan melepas bibit ikan ke sawah. Sebab petani khawatir ikannya dimakan oleh bangau.

Sedangkan Aldoris, perwakilan kabarsumbar.com di Tanah Datar yang tinggal di kawasan pohon Baringin itu menceritakan, dia dan keluarganya tinggal di sekitar habitat burung bangau, dan merasa sangat terganggu dengan keberadaan burung kuntul tersebut.

“Tahun 2014 anak saya terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) hingga meninggal dunia. Saya menduga polusi yang disebabkan bangau ini salah satu pemicunya. Kalau memang burung kuntul ini tidak boleh diganggu, pihak terkait harusnya mencarikan solusi bagaimana burung ini bisa tetap terlindungi, namun juga tidak mengganggu masyarakat,” ujarnya.

Akademisi Unand, Wilson Novarino menceritakan, tahun 1993 saat dia melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Tanah Datar, setiap Minggu dirinya berkumpul bersama teman-teman di kawasan Cagar Alam Baringin Sakti. 

“Belum ada ada burung kuntul di sana. Tahun 2008 saat saya kembali lagi setelah pulang sekolah diluar sudah ada burung kuntul di sana,” ujar doktor di bidang Biologi itu.

Wilson Novarino menawarkan kepada Pemkab Tanah Datar agar menggarap burung kuntul ini sebagai salah satu destinasi wisata. Bagaimana kita mendapatkan benefit dari kuntul yang sudah ada di Kota Batusangkar jika kita ingin manfaat ekonomi kita perlu pikirkan strateginya.

“Sekarang kami juga bekerja dengan Pemerintah Kota Pariaman untuk merancang kota yang ramah burung yang akan dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata. Mestinya Tanah Datar bisa berbangga karena tanpa sewa konsultan dan ahli, kota ini sudah ramah Burung,” katanya.

Sementara Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Sumbar, Wengki Purwanto mengkaji dari segi perundang-undangan. Menurutnya, Dalam UU No 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Disana jelas bahwa tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat.

“Selain itu saat ini Indonesia menganut prinsip pembangunan SDGs atau tujuan pembangunan berkelanjutan, dimana yang diatur di sana termasuk soal keberlanjutan sumberdaya alam hayati kita,” ujarnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Cahaya

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co