GenPI.co - Sejak Virus masuk Indonesia pada maret 2020, media berbagai platform tak pernah absen menayangkan beritanya.
Perkembangan virus ini begitu dahsyat, yang ditandai makin banyaknya korban jiwa dari hari ke hari.
BACA JUGA: Sepucuk Surat yang Tak Pernah Sampai Kepada Kekasih: Aku Rindu!
Saya adalah salah satu orang yang sangat peduli dengan pandemi Covid-19 ini. Saya sangat berusaha mengikuti anjuran pemerintah seperti stay at home, mencuci tangan, menjaga jarak, menggunakan masker dan lain sebagainya.
Semua saya lakukan, karena saya takut terinfeksi dan takut kehilangan keluarga yang saya sayangi.
Tapi takdir berkata lain, saya pun tidak luput dari virus yang mengerikan ini. Bukan hanya saya, keluarga saya pun mengalami nasib yang sama.
Awalnya ayah saya lah yang didiagnosa positif Covid-19. Saya dan ibu sempat mengalami gejala yang sama, tapi diagnosa dokter adalah Tipes.
Namun, setelah menjalani tes usap atau PCR Swab Test, saya dan ibu juga dinyatakan positif Covid-19.
Perasaan saya hancur. Sangat hancur! Hati makin kalut setelah menemukan kenyataan bahwa suami dan adik saya juga dinyatakan positif.
Seingat saya, itu adalah saat yang paling menakutkan yang pernah saya rasakan selama hidup. Saya tidak pernah setakut ini sebelumnya. Kematian pun seakan di depan mata saya
Namun secara bersamaan, di saat saya merasakan ketakutan yang begitu dalam, di saat itu pula saya harus menyadari bahwa ini adalah kehendak Allah.
Saya dan kedua orang tua saat itu harus menjalani perawatan di rumah sakit karena kami adalah pasien dengan gejala.
BACA JUGA: Tubuh Sintalmu Berhasil Menguras Tabunganku
Pada tanggal 30 Agustus 2020, saya dan kedua orang tua masuk dan dirawat di salah satu rumah sakit milik pemerintah.
Masa isolasi bukanlah momen yang mudah untuk saya lewati, karena kami sekeluarga harus berjauhan.
Saya yang hanya berdua dengan ibu di kamar isolasi tidak bisa berdekatan dengan suami dan ayah saya. Begitu juga dengan adik saya.
Hari demi hari kami lewati dengan berbagai perawatan medis untuk penanganan virus ini. Saya membayangkan betapa beratnya ayah saya berjuang sendirian di ruangan isolasi saat itu.
Namun akhirnya, pada 7 September 2020, ayah saya menyerah dengan virus ini. Beliau yang kami cintai meninggal dunia.
Setelah kepergian beliau pun kami semakin merasa berat. Di satu sisi harus berjuang untuk sembuh, tetapi di sisi lain kami menangis karena orang yang kami cintai pergi untuk selamanya.
Kami pun melanjutkan isolasi, seminggu sekali kami melakukan swab PCR. Setiap hari pula kami berharap hasil tes Swab kami negatif, agar kami bisa pulang ke rumah.
Pada swab kelima, tepatnya hari ke-25 sejak awal kami dirawat, ibu saya dinyatakan negatif dan bisa pulang ke rumah.
Sementara saya, masih harus menunggu menunggu hasil swab yang belum keluar. Ternyata, hasil swab kelima saya menyatakan saya masih positif sehingga masih harus menjalani isolasi di rumah sakit. Sendirian!
Pikiran dan hati saya berkecamuk. Saya benar-benar takut saya tidak akan bisa lagi berkumpul dengan orang-orang yang saya cintai di rumah.
Hasil tes swab keenam pun, saya masih dinyatakan positif. Hampir saja saya putus asa dengan semua upaya yang saya lakukan agar bisa sembuh.
Dari vitamin, obat herbal, oral hygiene, dan semua saran petugas media sudah saya ikuti tetapi hasilnya masih saja positif.
Namun seketika semangat itu hadir lagi, saat saya melihat dukungan dari orang-orang terdekat dan keluarga untuk saya tidak pernah berhenti. Saya meyakinkan diri, jika mereka bisa melewati ini dan sembuh, berarti saya juga harus bisa.
Akhirnya, tes swab ketujuh saya menunjukkan hasil negatif. Rasanya baru kali ini kata “negatif” begitu berarti untuk hidup saya. Kata negatif terindah sepanjang usia.
BACA JUGA: Tetangga Main Dukun, Dagangan pun Diguna-guna Hingga Tak Laku
Tidak henti-hentinya saya mengucap syukur kepada Allah. Saya benar-benar merasa diberikan kesempatan kedua dalam hidup, setelah satu bulan tiga hari saya merasa seperti kehilangan harapan.
Semua ini juga berkat dukungan dan doa dari orang tua, suami, adik-adik, keluarga besar, serta bantuan tim dokter dan perawat yang berada di garda terdepan.
Saya benar-benar menaruh apresiasi setinggi-tingginya kepada para tenaga medis, khususnya tenaga medis RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur, yang telah memberikan pelayanan luar biasa.
Bisa saya katakan, bahwa virus ini sangat pintar. Mengapa? Karena Virus Corona tidak hanya menyerang tubuh dan menurunkan imunitas fisik kita.
Secara tidak langsung virus ini juga ikut menyerang mental penderitanya.
Bayangkan saja, di saat kita butuh kehadiran orang-orang terdekat saat sakit, di saat itu pula kita harus menerima kenyataan bahwa kita harus berada jauh dari mereka secara fisik. Bahkan teknologi yang saat ini ada, tetap tidak bisa menggantikan sentuhan dan kasih sayang secara langsung yang pasti akan lebih berpengaruh secara emosional.
Cerita ini adalah nyata. Berdasarkan pengalaman, saya merasakan fisik saya akan semakin drop jika secara mental tertekan dan dalam kondisi yang tidak baik.
Bagi saya, menjaga kestabilan mental saya, terlebih saat mendengar kabar ayah saya meninggal dunia, adalah hal terberat yang harus saya lakukan agar imunitas tubuh saya dapat meningkat.
BACA JUGA: Di Tengah Pandemi, Banu Selingkuh dan Meninggalkanku
Untuk yang belum pernah terinfeksi Covid-19, saya mengerti jika sulit untuk memahami beratnya situasi yang saya hadapi. Namun, saya bersaksi bahwa tidak perlu terinfeksi Covid-19 untuk mengerti betapa dahsyatnya efek dari Virus Corona ini.
Untuk itulah, cerita ini saya bagikan, agar masyarakat semakin sadar bahwa Virus Corona atau Covid-19 itu sangat nyata. Saya tidak ingin semua orang harus merasakan hal yang sama dengan apa yang menimpa saya.
Jangan lupa untuk terus berdoa, serta tetap ikuti anjuran jaga jarak, menggunakan masker dan menjaga kebersihan diri terutama tangan. Stay safe everyone!
Unik Desthiani, Penyintas Covid-19.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News