GenPI.co - Aku tak akan pernah melupakan satu nama yang selalu bersemayam di hatiku. Della. Dia mantan kekasihku.
Semua hal tentang dia selalu membuatku merasa bahagia. Pembawaannya. Kecantikannya. Kepintarannya. Semuanya. Sulit bagiku mencari pengganti dia.
BACA JUGA: Berita Top 5: Pengakuan Maia usai Jumpa Dhani, Manfaat Air Kelapa
Della pula yang membuatku bersemangat kuliah. Aku nyaris tidak pernah lagi membolos.
Rasanya sangat sayang untuk membolos karena aku pasti tidak akan bersua kekasihku.
Kuceritakan sedikit tentang perjuanganku mendapatkan Della. Aku sudah mengincar dia cukup lama.
Awalnya kami satu kelas. Aku sering memperhatikan Della. Anak ini menarik. Batinku. Dia memang bukan yang tercantik.
Namun, cinta tidak selalu tentang kecantikan. Cinta tidak melulu mengenai fisik.
Hatiku tertambat padanya. Kujalani hari nan indah bersamanya. Aku mencintainya dengan baik. Sampai suatu ketika hatiku tercabik-cabik.
"Haris," panggil Della dengan lembut
"Ya, Della yang manis," jawabku penuh semangat
"Hubungan itu kayak pasir di laut," Della sambil menatapku
"Terus?” aku bingung
"Kalau diletakkan di tangan, dibiarin tidak akan berkurang. Makin kamu menggenggam kuat pasir itu, yang ada dia akan terus keluar dari sela- sela jarimu hingga akhirnya habis,"
"Maksud kamu apa, Del?" perasaanku mendadak tidak karuan.
"Aku ingin kita putus, Ris. Aku merasa hubungan kita nggak sehat,"
Duniaku mendadak gelap. Aku sulit mencerna maksud ucapan Della. Aku tidak mungkin menangis, tetapi hatiku berdarah.
Entah apa yang membuat Della memilih mengakhiri hubungan. Rasa-rasanya semuanya berjalan dengan baik.
Aku tidak pernah menyakitinya. Dia juga menerimaku dengan apa adanya. Tubuhku lunglai. Berhari-hari. Cukup lama.
Kuliahku berantakan. Hidupku tidak karuan. Semangatku hilang. Aku belum juga menemukan jawaban.
Hingga akhirnya aku menyadari satu hal. Della benar. Hubungan kami tidak sehat. Selama ini di hidupku hanya ada dia.
Aku melupakan teman-temanku. Aku melupakan keluargaku. Aku mengindahkan banyak orang penting di hidupku.
Malam itu aku menemui Della di indekosnya. Aku berusaha menemuinya sekuat tenaga.
“Del, kamu benar,”
“Soal?”
“Hubungan kita,”
“Bagian mana?”
“Yang tidak sehat,”
Della menatapku lekat-lekat. Aku tercekat. Malam itu terasa sangat panjang, tetapi tidak dengan obrolan kami.
Kami lebih banyak diam, membiarkan obrolan menari-nari di kepala masing-masing. Tidak semuanya terungkapkan.
“Kita masih punya harapan untuk bersama lagi?” tanyaku dengan keberanian yang sedemikian hebat.
Della tidak menjawab. Kutunggu jawaban darinnya. Dia tidak juga memberi kepastian. Baiklah.
Untuk mencintaimu, aku memang hanya perlu percaya diri. Untuk memilikimu, aku harus tahu diri.
Dua tahun berselang. Aku memiliki kehidupan baru. Aku membangun usaha agensi. Namun, nama Della tetap bersemayam di hatiku.
"Entah apa yang merasukimu, hingga kau tega mengkhianatiku yang tulus mencintaimu," aku bernyanyi dengan suara keras di kamar.
“Yaelah, Ris. Ikhlasin aja. Lu nyanyi begitu juga kagak kedengeran sama dia. Yang ada gendang telinga gue pecah," keluh Dimas sambil bermain game online di handphone.
"Lu udah putus dua tahun lalu masih aja galau. Bukannya gue kagak hibur. Lu aja terlalu berlarut- larut galaunya," Dimas masih saja nyerocos.
“Lu nggak tahu apa yang gue rasain,”
“Daripada galau, mendingan lu lihat jadwal lu hari ini,”
“Maksudnya,”
“Kita ada meeting sama klien, monyong,”
BACA JUGA: Sungguh Tega Kamu! Gagalkan Pernikahan Kita demi Cinta Satu Malam
Aku terperanjat. Aku lupa setengah mati tentang jadwal meeting. Aku langsung bersiap. Nama Della hilang dari kepalaku untuk sementara. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News