Bagi sebagian orang, Bundengan adalah sebuah kata yang asing. Itu adalah sebuah alat musik etnik berbahan dasar bambu dan memiliki fungsi ganda sebagai payung yang biasanya dikenakan oleh penggembala bebek atau Sontoloyo.
Di Wonosobo, Jawa Tengah, alat musik tradisional itu diangkat dalam sebuah persembahan istimewa bertajuk What Is Bundengan 2018. Agenda yang dikemas dalam Konser Bundengan itu berlangsung pada Senin (26/11) malam Sasana Adipura Wonosobo.
Para seniman muda setempat menjadi inisiator event yang baru pertama kali diselenggarakan itu. Salah satunya adalah Luqmanul Chakim yang pada Februari 2018 lalu mementaskan Bundengan di Australia.
Konser yang didukung penuh Dinas Pariwisata dan kebudayaan Wonosobo berlangsung meriah. Konser mengusung tema etnis itu sukses menarik 500 pengunjung dari Wonosobo dan daerah-daerah sekitar.
Acara tersebut diisi berbagai komposisi yang disusun oleh 7 orang Arranger/Komposer dan satu koreografer. Selain itu, ada juga penampilan para musisi asal mancanegara, di antaranya Dora Gyorfi Dan Luca Rekassy asal Hungaria yang tampil bersama Wayang sampah.
Konser ditampilkan dengan konsep sinematik dan teatrikal yang menggabungkan penuturan kisah dari layar yang ditampilkan dengan penampilan-penampilan di panggung. Para performer tampil di set panggung yang didesain seperti di lingkungan perdesaan dan persawahan dengan gubug dan berbagai dekorasi khas alam.
Menurut kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan One Andang Wardoyo, Konser Bundengan diharapkan bisa semakin mengenalkan bundengan pada masyarakat umum baik lokal hingga internasional.
"Harapan kami konser bundengan ini bisa menjadi awal untuk mempopulerkan bundengan dengan cara yang berbeda. Mengingat banyak musisi yang terlibat dan kolaborasi dengan para seniman dari mancanegara. Selain itu, juga untuk memantapkan bundengan sebagai alat musik sekaligus ikon Wonosobo. Semoga tahun depan kita bisa mengadakan lagi," ungkapnya.
Ketua panitia, Luqmanul Chakim mengatakan, Konser Bundengan menjadi ajang untuk nguri-uri budaya Wonosobo dan persembahan yang belum pernah ada dengan konsep baru ala anak muda. Mulai dari ide hingga eksekusi ide digarap para seniman muda.
"Kami mencoba menampilkan bundengan sebagai alat musik tradisional dengan cara beda, kita eksplore sebebas-bebasnya. Ada teknologi mapping, bundengan EDM, dikolaborasi laat musik barat dan berbagai aliran musik. Konser ini unik karena sudah dihandel dengan konsep sinematik yang digabung dengan penampilan live nya,"kata Lukman yang adalah founder Woohoo Artspace yang juga penggiat Genasri dan GenPI Wonosobo itu.
Pada agenda Konser Bundengan juga dilakukan pemberian bantuan dan penghargaan. Di antaranya piagam penghargaan bagi pelestari Bundengan yang diberikan oleh Bupati Wonosobo Eko Purnomo kepada 4 penerima yaitu. Mereka adalah Almarhum Barnawi (perwakilan), Munir, Bohori dan Mahrumi.
Almarhum Barnawi merupakan sosok pelopor Bundhengan di Wonosobo. Sementara Munir adik Barnawi bersama Bohori kini menjadi penerus Sebagai Maestro Bundhengan Klasik. Sedangkan Mahrumi merupakan Maestro Pembuat Kowangan.
Sementara untuk Bantuan Teknologi Informasi diberikan oleh Bekraf untuk dua pihak penerima bantuan yaitu Sanggar Ngesti Laras dan Klaster Carica 'Klasika'.
Penampilan ditutup dengan Closing Ceremony dari 30 Bundengan yang diaransemen oleh Lukmanul Chakim dikolaborasikan dengan tarian. Usai penampilan terakhir, para penonton diajak untuk ikut meramaikan Pesta Bunyi.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News