GenPI.co - Menurut survei yang dilakukan oleh organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB (UNESCO) tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara di dunia pada level literasi baca.
Menanggapi hasil survei ini, Rhenald Kasali, Guru Besar Universitas Indonesia (UI), mengatakan survei yang menyatakan minat baca masyarakat Indonesia terendah kedua di dunia, masih tergolong angka rata-rata keseluruhan.
Pasalnya pada beberapa wilayah di luar pulau Jawa, kecenderungan membaca masyarakat masih sangat rendah. Hal itu disebabkan diantaranya karena minimnya infrastuktur dan SDM.
BACA JUGA: Yang 90-an Sudah Remaja Pasti Hobi Baca Majalah ini Kan!
“Indonesia ini sangat luas dari ujung barat hingga ujung timur. Kalau di Jawa literasinya tidak serendah itu. Mungkin kalo kita mengambil di Jawa saja kita lebih tinggi dari Vietnam, Myanmar,” ungkap Rhenald kepada GenPI.co belum lama ini.
Ia menjelaskan Indonesia sangat bisa mengejar ketertinggalan itu, apabila para stakeholder bisa bersinergi melakukan pemerataan fasilitas.
Rhenald mencontohkan beberapa daerah terpencil di Indonesia Timur, yang masih belum memiliki pembangunan insfrasturuktur yang memadai.
BACA JUGA: Deretan Puisinya Dijadikan Buku, Putri Marino Trending di Twitter
Baru setelah adanya program dana desa dan pengentasan kemiskinan, perlahan kemampuan literasi anak-anak mulai bangkit.
Lebih lanjut, praktisi ekonomi itu menyebut angka rata-rata ini harus dipecah lagi pada daerah mana dan apa penyebabnya.
“Ada aspek kemiskinan yang mengakibatkan mereka tidak punya sekolah yang bagus, kemampuan membeli buku bacaan yang baik, kemampuan daerah menyediakan infrastruktur untuk anak-anak sekolah hingga gizi yang baik,” imbuhnya.
Terkait dengan penyebab turunnya minat baca, khususnya pada anak-anak, Rhenald mengatakan ada beberapa elemen utama.
Pertama adalah parenting, betapa sekarang orang tua tidak punya waktu dan menyerahkan waktunya kepada subtitusi.
Dalam hal ini adalah tenaga-tenaga yang membantu untuk menjaga anaknya. Sehingga kemampuan membaca membaca sangat minim.
Kedua adalah teknologi, yang mengakibatkan banyak sekali penyampaian informasi yang salah.
Buku bacaan yang ada di buku fisik digantikan oleh bacaan-bacaan framing yang cenderung menjadi datar dan tidak dalam.
“Jadi kalo ada satu berita yang populer di media online mereka merasa sudah paham, tanpa mengkaji ulang,” tukasnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News