GenPI.co - Bayangkan kamu bangun di suatu pagi lalu mengecek media sosial. Seketika kamu merasa shock. Pasalnya tersebar luas sebuah video yang di dalamnya kamu sedang mengatakan hal-hal tak pantas. Kamu tahu dengan jelas tidak pernah mengatakan itu. Namun video tersebut membuktikan hal lain.
Hal di atas di atas sangat bisa dilakukan pada era digital saat ini. Sedemikian majunya teknologi, sehingga mampu melahirkan produk artificial intelligence alias kecerdasan buatan bernama Deep Fake. Produk ini bekerja dengan mengeksploitasi kecenderungan alami kita sehingga sulit untuk membedakan mana yang asli dan mana yang palsu.
Menurut Dr. Derwin Suhartono, S.Kom., M.T.I, Head of Computer Science Program Universitas Binus kecanggihan teknologi Deep Fake menghasilkan kemiripan yang hampir sempurna.
“Deep Fake itu usaha yang dilakukan untuk mengimitisi wajah seseorang untuk diletakkan di wajah orang lain. Hal ini sangat mungkin dilakukan sekarang. Tergantung keahlian seseorang yaang bekerja dengan teknologi tersebut, namun setahu saya bisa sampai 97 persen, sehingga susah dibedakan mana yang asli dan mana yang palsu,” ungkap Derwin Suhartono kepada GenPI.co, Senin (8/7).
Baca juga:
Penataan Borobudur Jadi permintaan Spesial Ganjar ke Jokowi
Aksi 'Bikin Alis’ Sepasang Kekasih Coreng Citra Taman Indonesia
Turis ini Kecewa Lantaran Pura Lempuyangan Tak Seperti di Foto
Deep Fake ini sebenarnya bukan barang baru, sudah ada sejak tahun 90-an. Menjadi sub bidang ilmu komputer yang menggabungkan AI dan pemrogram komputer dari gambar dan video digital untuk membuat program baru. Proyek itu tersebut dikenal sebagai program Video Rewrite yang diterbitkan pada tahun 1997.
Program Video Rewrite ini dapat mengubah rekaman video asli dari seseorang yang berbicara dengan dialog baru dengan menggunakan learning machine untuk menghidupkan kembali wajah.
Teknologi ini sudah banyak diterapkan ke dalam sebuah aplikasi sederhana di sekitar kita. Misalnya, program Face2Face yang dirilis pada tahun 2016. Program ini memodifikasi rekaman video wajah seseorang sehingga mereka meniru ekspresi wajah orang lain secara real time.
Contoh lain, program "Synthesizing Obama" yang dipresentasikan di TED pada April 2018 silam, benar-benar menunjukkan potensi teknologi ini.
Keberdaaan kecerdasan buatan ini bisa berpotensi negatif. Sebab, teknologi tersebut bisa saja digunakan untuk menghancurkan reputasi seseorang, Mereka yang tak bertanggungjawab bisa membuat target mereka bicara hal-hal tak pantas, mulai dari hoax hingga fitnahan.
Di era digital dengan kecenderungan semua orang memiliki media sosial dan mengisinya dengan berbagai konten gambar maupun video, tak sulit untuk menciptakan konten berbasis teknologi deep Fake. Oleh karena itu, Derwin Suhartono menghimbau agar para pengguna social media juga waspada akan adanya tindak kejahatan ini.
“Kalau udah seperti ini saya rasa sudah jangan terlalu banyak posting yang nggak penting, kalau terlalu banyak posting, orang bisa menyalahgunakan data kita, karena itu sifatnya open for public,” katanya.
Media sosial, katanya, bisa menjadi bumerang buat diri kita sendiri. Konten-konten dalam akun bisa saja dimanfaatkan oleh para panjahat yang melek teknologi demi keuntungan mereka.
Simak juga video menarik berikut
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News