GenPI.co - Pesona Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) mampu membius siapa saja yang menyukai olahraga mendaki.
Hamparan padang bunga keabadian alias edelweiss di Surya Kencana seakan memanggil para pendaki untuk menyapa meski sudah berkali-kali ke sana.
Surya Kencana adalah magnet yang dimiliki oleh TNGGP.
Hal itu, membuat ada pendaki yang nekat membelah hutan TNGGP meski statusnya masih tutup. Pendaki itu berinisial MR.
Pasalnya, TNGGP sendiri baru dibuka tanggal 15 November 2021.
Jika menilik berdasarkan dua surat edaran terkait dibukanya pendakian ini, yakni Surat Edaran Nomor: SE.1671/BBTNGGP/Tek.2/11/2021 tentang Pembukaan Kegiatan Wisata Alam dan berkemah di ODTWA Bidang PTN Wilayah I Cianjur.
Surat Kedua, Nomor: SE.1672/BBTNGGP/Tek.2/11/2021 tentang Pembukaan Kegiatan Pendakian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
"Naik tanggal 2 November, pagi. Saya hanya berdua saja," katanya saat ditemui oleh GenPI.co, Kamis (18/11).
MR mengatakan, terwujudnya hasrat untuk mendaki Gunung Gede Pangrango karena adanya akses melakukan kegiatan itu.
Akses itu adalah lewat perantara ataupun calo pendakian.
"Ada channel orang dalam gitu. Kalau mendaki Gunung Gede via Gunung Putri, ada perkumpulan atau koperasi yang didirikan sama warga sekitar," ujarnya.
MR menjelaskan, pendakian lewat calo memang cukup memudahkan untuknya.
Hal tersebut dikarenakan, hanya tinggal menghubungi via telepon dan membayar uang senilai Rp 75 ribu, sudah bisa naik.
Dirinya pun tidak perlu repot menyiapkan surat kesehatan, surat izin pendakian, dan tes antigen.
Sebab, pendakian ilegal tidak membutuhkan persyaratan resmi seperti dari Balai Besar TNGGP.
"Enggak, tinggal bawa badan aja Rp75.000. Paling, diminta fotocopy KTP atau foto KTP aja, udah tinggal naik aja," jelasnya.
Awal pendakian MR dipandu oleh sang calo melintas di jalur ilegal.
Hal itu agar mengelabui para petugas yang berjaga di pos pendaftaran.
Untuk itu, dirinya diminta memulai pendakian sejak pagi baru tepatnya pukul 05.00 WIB
"Kalau telat dikit, itu nanti bakal ketahuan sama petugasnya," ujarnya
Dalam pendakian itu, rekan MR sempat mengalami cedera dan kesurupan.
Namun, apa daya. Dia tidak bisa meminta pertolongan tim penyelamat dari Balai Besar TNGGP.
"Kalau ada kejadian cedera kayak gitu tidak mungkin hubungin ranger. Kalau hubungi calo, ya, pasti," ujarnya.
MR pun menekankan bahwa dalam pendakiaan ilegalnya tidak mendapati petugas-petugas yang patroli.
Dirinya pun memberikan alasan mengapa nekat melakukan pendakian ilegal yang memiliki resiko besar.
"Iya, karena butuh liburan, terus refreshing juga. gunung yang dekat, apalagi ada calo, dan tidak ada simaksi. Simpel," jelasnya.
Dua Pola Calo Pendakian Ilegal
Genpi.co mendalami informasi terkait praktik pendamian ilegal dari calo yang enggan disebutkan namanya.
Calo itu menyatakan bahwa para petugas dari Balai Besar TNGGP tidak pernah menyisir jalur pendakian saat dini hari.
Untuk itu, kondisi gelap gulita membuatnya leluasa meloloskan para pendaki ilegal.
Calo tersebut membeberkan, meskipun Gunung Gede Parango tutup secara resmi, tetapi pendakian tetap bisa dilakukan.
Ada dua pola yang bisa dilakukan untuk mendaki lewat calo.
Pola pertama, adanya sejumlah koperasi dan paguyuban yang menjadi wadah untuk para calo menjalankan aksinya.
Oleh dikarenakan, lewat wadah itu Balai Besar TNGGP memberikan keistimewaan kuota pendakian.
"Kantor TNGGP jika ada apa-apa minta bantuan ke warga. Untuk itu, warga dikasih jatah stempelnya (izin pendakian, Red) ke paguyuban atau koperasi,” ucapnya.
Dalam satu kali pendakian sang calo menekankan minimal lima orang tarif Rp 75.000 per orang.
Jika di bawah lima orang, tarifnya dibanderol mulai Rp 80.000 sampai Rp 90.000.
Biaya itu diperuntukan untuk membayar simaksi sebesar Rp 34.000, surat sehat Rp 25.000 dan materai seharga Rp10.000.
Untuk pola kedua, penilaian dilakukan secara ilegal tanpa melibatkan panyuban dan kopersi
Oleh dikarenakan, para calon bergerak sendiri dan semua di bawah kendalinya untuk meraup keuntungan.
Balai Besar TNGGP Buka Suara
Pejabat humas Balai Besar TNGGP Agus Deni tidak menampik bahwa adanya praktik percaloan pendakian ilegal di kawasannya.
Dia menekankan kondisi itu terjadi karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM).
Pasalnya, TNGGP memiliki luasan kurang lebih 24.000 hektare dan tidak sebanding dengan SDM yang ada.
"Di setiap pintu gerbang (pendakian) itu hanya tiga sampai empat orang. Cuma, ya, itulah. Kami tidak menjaga 24 jam terus, ya," katanya, Jumat (19/11).
Agus menjelaskan, Balai TNGGP juga bekerja sama dengan sukarelawan, warga sekitar yang tergabung dalam Masyarakat Mitra Polhut (MMP) untuk melakukan pengawasan agar tidak ada pendaki ilegal.
"Mereka juga diberi tugas untuk memantau keanekaragaman hayati yang ada di TNGGP," ujarnya.
Dia menegaskan, sanksi tegas akan diterapkan jika menjadi para pendaki ilegal.
Sanksi tegas itu berupa sosial, seperti push up dan membersihkan sampah.
Adapun sanksi administratif dengan membayar tarif pendakian lima kali lipat.
Jika pendaki masih membandel dengan mengulanginya, akan masuk daftar hitam dan tidak diizinkan masuk kawasan TNGGP seumur hidup.
"Kami tidak main-main untuk penindakan di lapangan," jelanya.
Untuk itu, dirinya meminta para pendaki mengurus perizinan sesuai presedur resmi demi kebaikan semua pihak.
Pasalnya, kasus pendaki hilang di TNGGP mayoritas para pendaki ilegal.
"Kebanyakan itu ilegal. Hampir 90 persen itu ilegal yang hilang atau ada kecelakaan. Akan tetapi, sebagai rasa kemanusiaan kami tetap merespons cepat," ujarnya.
Terkait adanya calo pendakian di saat penutupan TNGGP, Agus tidak tahu soal hal itu.
Untuk itu, dirinya akan mendalami dahulu agar mendapatkan kejelasan informasi terkait pola calo yang mengatasnamakan koperasi atau paguyuban mitra resmi TNGGP.
“Nanti biar kami cross-check juga. Takutnya, oknum itu. Kalau koperasi saat pendakian ditutup, tidak boleh ada aktivitas pendakian. Memang, praktik calo itu kami akui ada. Cuma, kalaupun di bawah koperasi, itu sesuai aturan. Tidak ada pengecualian semua," katanya.
Berdasarkan data Balai Besar TNGGP pada 2020 yang Genpi.co peroleh, setidaknya ada 177 pendaki ilegal yang ditindak oleh petugas.
Sayang Diri Sendiri Agar Tidak Mati Konyol
Anggota perhimpunan pendaki gunung Wanadri, Soni Takari menekankan bahwa jangan anggap remeh TNGGP dan alam liar.
Meskipun TNGGP memiliki fasilitas penunjang pendakian yang baik, tetapi tetap memiliki resiko, apalagi dilakukan secara ilegal.
"Ya, kelas Gunung Gede itu di atas sedikit wisata, sudah disiapkan sarana dan prasarana, tetapi bahaya tetap ada. Bahayanya tidak bisa diduga, ya," katanya dalam wawancara virtual, Sabtu (20/11).
Abang Oz sapaan akrabnya mengatakan, para pendaki harus cerdas dengan mematuhi prosedur yang ada demi keselamatan.
"Semua ada tujuannya. Tujuannya pasti untuk kelestarian dan keselamatan. Sayang diri sendiri agar tidak mati konyol," ujarnya.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News