GenPI.co – Sudan, salah satu negara di Benua Afrika, kini sedang jadi sorotan dunia. Konflik rakyat dengan pemerintahnya mengakibatkan gejolak di negara berpenduduk mayoritas Islam tersebut.
Dilansir dari middleeasteye, media yang memberitakan peristiwa di negara Islam dan Timur Tengah, konflik yang terjadi di Sudan memanas sejak tahun lalu. Penyebabnya adalah adalah perebutan kekuasaan di Sudan yang terjadi sejak Desember 2018 hingga hari ini pasca kejatuhan pemerintahah yang dipimpin oleh Presiden Omar Al-Bashir
Awal kerusuhan di Sudan disebabkan krisis ekonomi. Lalu kemudian menjadi isu politik nasional lantaran buntunya dialog militer dan perwakilan rakyat sipil.
Saat ini Dewan Transisi Militer yang dikepalai oleh Letnan Jenderal Abdul Fattah Al-Burhan masih enggan menyerahkan tampuk kekuasaan kepada rakyat yang diwakili oleh serikat pekerja Sudan di bawah nama Sudanese Profassionals Associations.
Baca juga: Konflik Sudan Semakin Memanas, WNI DIimbau Hati-hati
Konflik pun muncul saat militer turun tangan untuk membubarkan para demonstran yang menduduki beberapa area penting di Khartoum ibukota yang merupakan pusat politik, kebudayaan, dan perdagangan Sudan.
Komite Pusat Dokter Sudan mengeluarkan statemen bahwa korban tewas mencapai lima orang pada Senin pagi (3/6). Hingga rabu (13/6) pertikaian terus terjadi dan menambah angka korban menjadi 100 orang.
Pada hasil dialog sebelumnya, militer menyatakan akan memberlakukan serta mengawal tiga tahun masa transisi yang dimulai sejak runtuhnya Presiden Omar Al-Bashir. Pernyataan ini ditolak oleh para demonstran dan rakyat yang menghendaki agar militer sepenuhnya turun dari kekuasaan.
Kronologis
Desember 2018 Demonstrasi rakyat terhadap pemerintah mulai berkumpul di berbagai penjuru Sudan. Penyebabnya disinyalir karena tingginya harga makanan pokok seperti roti, langkanya uang tunai di masyarakat, hingga minimnya cadangan bahan bakar minyak terutama solar.
Faksi oposisi menyatakan bahwa situasi ini adalah dampak langsung dari pemerintahan Bashir yang menduduki tahta sejak kudeta 1989. 19 Februari 2019 Bashir memberlakukan status keadaan darurat nasional, melarang perkumpulan massa yg tidak diberi otorisasi. Ia menerjunkan militer serta polisi untuk meredam protes. Beberapa sumber melaporkan adanya penggunaan gas air mata dan peluru tajam dalam peredaman protes.
6 April 2019 demonstrasi dengan skala besar terjadi di markas militer di Khartoum. Lima hari selanjutnya, 22 demonstran tewas oleh pasukan pengamanan dalam demonstrasi sekaligus pendudukan tersebut
11 April 2019 Militer Sudan menangkap Omar Al-Bashir dan menyatakan akan mengambil alih kekuasaan selama dua tahun kedepan, juga memberlakukan masa darurat serta jam malam selama tiga bulan. Jenderal Ahmad Awad Ibnu Auf didapuk sebagai kepala dewan pemerintahan militer.
Sejak itu, Serikat Pekerja Sudan (SPA), salah satu kelompok paling berpengaruh di kalangan demonstran mengajak semua demonstran utk melanjutkan demonstrasi sekaligus pendudukan di markas militer. SPA mengaku tidak percaya terhadap dewan militer dan trs melanjutkan protes hingga kekuasaan ke tangan rakyat, hingga hari ini
Sejak 3 Juni (3 hari sebelum lebaran di Sudan), Dewan transisi militer mematikan internet di Sudan. Hal ini bertujuan untuk meredam akses informasi di seluruh negara bagian Sudan.
Simak juga video berikut
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News